Kamis, 08 Maret 2018

Sebenar-benarnya menjadi Akhir




Kala itu, langit sudah sering menunjukkan sesuatu kepada aku yang masih giat untuk mencoba. Cukup lewat pikiran yang sederhana, meraba-rabai jalan dengan tongkat pahatan Ibnu Salih ternyata telah menjadi kawan purnabakti kemanapun aku pergi dan melangkah.

Bersama basah dan hebatnya kekhawatiran dengan isi di kepala,
yang ditakutkan bukan tentang sebuah jejak yang tak terpijak dari liatnya tanah berwarna merah. Melainkan engkau sendiri, yang berbicara tentang hujan namun tak pernah kunjung menjadi reda, yang berbicara tentang tanya lalu hanya hilang dan tak bisa kembali untuk kutemui hasil jawabannya.



kata Ibuk, "Kamu telah cukup lama menelisir hari. Sudah cukup kamu terseok-seok dari sekoci tipis buatan tangan ayahmu itu"

Pikirku, "Tahu apa Ibuk dengan anak laki-laki sulungnya ini; aku telah muram sejak dirimu menggerutu memintaku kembali sejak siang hari tadi"


Padahal Ibuk sudah lama tiada dipelukkan,
tapi ujaran yang dilisankannya masih terpatri di dalam hati dan kepala
yang turut menjadi basah sebab dihujani air mata dari Sang Khalik, Si Pengasih.


Kemudian,
lewat lantunan suara pedendang musik khas yang dimainkan di tepi dermaga,
memang telah terasa cukup lama kususuri permukiman yang mendekapi ngarai di sekitar sini, pikirku.
Di sejauh batas horizon dari sudut pandang seorang diri yang tak henti-hentinya mengamati ini,
kupikir akhir ini akan menjadi awal baru yang dipenuhi dengan mozaik percaya diri,
tapi ternyata perlu kupikir-pikir lagi pada akhirnya.

Entah berapa konstelasi yang kupandangi dalam memecahkan masalah ini,
telah kuarungi arus ilusi-asumsi yang terdiri dari pecahan kalimat tak bermakna, agar kelak nantinya bisa kumengerti.
Namun hasilnya, kembali hanya larat yang kudapat.


Walaupun jam di dinding itu telah menunjukkan waktu pukul tiga pagi lagi.
hawa yang dingin menjadi saksi dari menggigilnya ketidakpastianku di dalam pertemuan ini,
yang melayang-layang hingga mendaki takdir,
bahwa "puan harus kembali mengenali pilihan hidup puan, dengan pertimbangan matang milik puan itu sendiri" tuturnya.


dan kini, satu hal kuyakini menjadi pelita yang mengiringiku untuk tidak hadir kembali. 
yang pijarannya terus mengingatkanku, tentang ujaran Ibuk dengan tuntunannya di masa-masa terdahulu. 


Katanya, "Kadang ada beberapa hal yang memang tak bisa kau atur dan rencanakan seorang diri, entah bagaimanapun caranya, engkau tetap tidak akan bisa."


Padahal, kukira semua akan jadi lebih mudah bila kutunggu dengan sabar hingga semua ikhtiarku rampung dan teratasi. 
Sampai akhirnya kusadari, ternyata akhir ini telah sebenar-benarnya menjadi akhir dari keberadaanku di matamu.
Bersama basah dan hebatnya kebimbangan yang menjadi riuh di kepalaku malam ini,
yang ditakutkan memang tentang engkau sendiri, 
yang tak berbicara tentang eksistensi, lalu menyerah dan tak bisa kembali 
yang biasa kutemui engkau merawi, namun kini, tak lagi kurasakan hangatnya mentari dalam setiap fajarku di kemudian-kemudian hari.

Sejenak kuamati lagi kewarasanku ini, 
kupikir, akhir ini memang telah sebenar-benarnya menjadi akhir.



Bandung, 
7 Maret 2018
tentang cerita, cinta, dan asa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar