Minggu, 29 April 2018

Kiat yang Mengelabui



Kita tentu telah mengetahuinya bersama-sama,
bahwa beberapa hal memang tidak bisa kita kembalikan.

Pun sudah diketahui bersama-sama,
bahwa sesal yang terasa takkan mungkin bisa kita ubah, dikendalikan,
dan digulir dengan garis waktu yang sesuai, agar nantinya,
bisa kita temukan bahwa kisah yang sebelumnya buruk rupa,
telah beralih dan berganti, dengan akhir cerita yang bahagia.


Sesuatu yang tak sama harapnya ini selalu mendesak mata untuk melihat lebih dalam
tetapi ketika melihat,
lontaran debu bisa saja masuk dan menutupi seluruh pandangan,
lalu memejamkannya dengan erat,
hingga setiap penat, hanya sekadar lara yang terus menjadi lupa.


Meski akal sehat terus memaki serta menyulut dan menyahut,
seraya berkata,
"Angkatlah kepalamu, dan jadilah manusia terhormat!"

Namun pada denting dari jarum di menit-menit yang sama,
dan dari cerahnya langit hingga kelamnya suasana malam,
perasaan dingin ini akan tetap selalu ada,
bukan sebab panasnya yang kurang menyala
namun mungkin karena sang awan sudah tak lagi merasa,
kalau hangat mentari dan rindangnya pepohonan,
lebih manusia inginkan hingga ia pun muncul dan menitikkan air kesepian.


Entah kesalahan apa yang pernah dibuat
hingga dingin ini begitu menusuk ke dalam belulang.
Sekiranya bertanya seakan tiada makna,
dan berkontemplasi pun tiada guna
akhirnya, cuma ada imaji dengan rangkaian alur yang terus berjalan mundur.


*


Teringat kembali kalau di sudut itu, kita bertemu.
Saling pandang, saling senyum.
Terpikir tentang suatu diksi di kepala
tentang imaji, tentang mimpi,
akan suatu ekspresi yang diharap dan dinanti.


Lensaku mengarah satu,
fokusku selalu satu,
kamu.
satu yang abadi.


Pikirku,
"Di pagi ini, ialah kita yang terlalu subuh.
Bekerja mengalahkan ayam, yang biasa membangunkan semesta dan isinya.
Menerjang melawan fajar, yang bahkan masih banyak orang 
yang lebih memilih, untuk tetap bersembunyi.
Dan tatkala langit terus mencumbui samudera hingga berapi-api.
Tahukah dirimu, tengah kurajut pinta dengan air mata,
doa-doa yang sama, untuk orang yang sama, kamukah itu?"


Padahal, di tempat yang lain, dengan seseorang yang lain.
Mudah sekali semua tentangku atau dirimu, lenyap menghilang
kau bisa saja tersingkirkan,
atau aku yang kau sisihkan,
walau itu mungkin hanya sebuah perkiraan,
hanya perkara waktu yang memerantarai Tuhan
tentang ridha dan ketetapan-Nya


Lalu, pelan-pelan seluruh bunga di taman itu kau hirup bau-baunya
dari akar sampai mekar, sambil tersenyum,
sekali lagi pelan-pelan kau mulai bercerita


katamu,
"Beberapa tempat cepat sekali berubah.
Musim-musim berganti, angka-angka bertambah.
Gemuruh mengiringi tangis yang pecah
hingga sesal mampir menggelayut,
hingga selalu ada khilaf yang terus menanti dan memaut"


Sejenak ku terdiam dan termangu, sambil menghela nafas lalu kuterbangun dan berbicara.
Tuturku,
"Jika sore kelak tersaji di dermaga, kemarilah.
Saat kau penat sebab kunjung ditempa buana, kan kusediakan pelataran suci untukmu.
Ketika kau pikir semua individu itu sama bengisnya,
kuingatkan kau betapa lembutnya kasih ibu.
Jika seluruh antek keji menganggap
kau tak lebih dari naluri yang hilang saraf akal dan budi,
hanya aku, yang ikhlas nan mampu memadamkan segala gejolak
tentang dengki di dalam hati"



di antara jeda kepergian dan kepulangan itu,
"Ayo segera menepi", ucapku..

"mari bergerak saling melengkapi,
berdiam pun kau kan kulindungi."


Namun beberapa hal memang tidak bisa kita kembali dan kendalikan, bukan?
waktu yang diperantarai Tuhan telah menuliskan ketetapan-Nya.
Lontaran debu kini menutup dan memejam mata dengan erat,
hingga sulit bagimu untuk membuka mata
lalu akhirnya, aku yang kau sisihkan.


Sua mu mungkin hanya sebatas kiat yang mengelabui.
Atau boleh jadi, sang awan yang memang sangat tangkas dalam menjaga,
agar diri ini mampu merunduk sejenak, dan mau tak mau harus belajar lagi dan lagi
agar dapat disadari,
bahwa kesepian ini adalah teman yang sepatutnya kita hargai.



Antapani
24 April 2018
Menuju satu bulan kurang sepuluh hari

Kamis, 08 Maret 2018

Sebenar-benarnya menjadi Akhir




Kala itu, langit sudah sering menunjukkan sesuatu kepada aku yang masih giat untuk mencoba. Cukup lewat pikiran yang sederhana, meraba-rabai jalan dengan tongkat pahatan Ibnu Salih ternyata telah menjadi kawan purnabakti kemanapun aku pergi dan melangkah.

Bersama basah dan hebatnya kekhawatiran dengan isi di kepala,
yang ditakutkan bukan tentang sebuah jejak yang tak terpijak dari liatnya tanah berwarna merah. Melainkan engkau sendiri, yang berbicara tentang hujan namun tak pernah kunjung menjadi reda, yang berbicara tentang tanya lalu hanya hilang dan tak bisa kembali untuk kutemui hasil jawabannya.



kata Ibuk, "Kamu telah cukup lama menelisir hari. Sudah cukup kamu terseok-seok dari sekoci tipis buatan tangan ayahmu itu"

Pikirku, "Tahu apa Ibuk dengan anak laki-laki sulungnya ini; aku telah muram sejak dirimu menggerutu memintaku kembali sejak siang hari tadi"


Padahal Ibuk sudah lama tiada dipelukkan,
tapi ujaran yang dilisankannya masih terpatri di dalam hati dan kepala
yang turut menjadi basah sebab dihujani air mata dari Sang Khalik, Si Pengasih.


Kemudian,
lewat lantunan suara pedendang musik khas yang dimainkan di tepi dermaga,
memang telah terasa cukup lama kususuri permukiman yang mendekapi ngarai di sekitar sini, pikirku.
Di sejauh batas horizon dari sudut pandang seorang diri yang tak henti-hentinya mengamati ini,
kupikir akhir ini akan menjadi awal baru yang dipenuhi dengan mozaik percaya diri,
tapi ternyata perlu kupikir-pikir lagi pada akhirnya.

Entah berapa konstelasi yang kupandangi dalam memecahkan masalah ini,
telah kuarungi arus ilusi-asumsi yang terdiri dari pecahan kalimat tak bermakna, agar kelak nantinya bisa kumengerti.
Namun hasilnya, kembali hanya larat yang kudapat.


Walaupun jam di dinding itu telah menunjukkan waktu pukul tiga pagi lagi.
hawa yang dingin menjadi saksi dari menggigilnya ketidakpastianku di dalam pertemuan ini,
yang melayang-layang hingga mendaki takdir,
bahwa "puan harus kembali mengenali pilihan hidup puan, dengan pertimbangan matang milik puan itu sendiri" tuturnya.


dan kini, satu hal kuyakini menjadi pelita yang mengiringiku untuk tidak hadir kembali. 
yang pijarannya terus mengingatkanku, tentang ujaran Ibuk dengan tuntunannya di masa-masa terdahulu. 


Katanya, "Kadang ada beberapa hal yang memang tak bisa kau atur dan rencanakan seorang diri, entah bagaimanapun caranya, engkau tetap tidak akan bisa."


Padahal, kukira semua akan jadi lebih mudah bila kutunggu dengan sabar hingga semua ikhtiarku rampung dan teratasi. 
Sampai akhirnya kusadari, ternyata akhir ini telah sebenar-benarnya menjadi akhir dari keberadaanku di matamu.
Bersama basah dan hebatnya kebimbangan yang menjadi riuh di kepalaku malam ini,
yang ditakutkan memang tentang engkau sendiri, 
yang tak berbicara tentang eksistensi, lalu menyerah dan tak bisa kembali 
yang biasa kutemui engkau merawi, namun kini, tak lagi kurasakan hangatnya mentari dalam setiap fajarku di kemudian-kemudian hari.

Sejenak kuamati lagi kewarasanku ini, 
kupikir, akhir ini memang telah sebenar-benarnya menjadi akhir.



Bandung, 
7 Maret 2018
tentang cerita, cinta, dan asa