Sabtu, 23 Januari 2016




Aku masih tertuju pada langit itu.
tepat di atas dengan kelip bintang pada rasi yang sama

Semilir angin yang sama juga masih terasa 
pada satu malam yang hujan, basah dan penuh gelisah
seorang gadis dengan wajah penuh susah
menunggu datangnya seseorang dengan hati penuh harap

Malam dimana kita bersama, menuju arah yang sama
malam-malam yang membuka cerita, tawa walau hati penuh gulana
malam dimana semakin malam detik menunjuk
malam-malam yang panik menuju hati yang tenang

Dari sana aku belajar, bahwa kesedihan merupakan bait puisi yang sangat dinanti
dengan Tuhan yang mengajari perbedaan anugerah beserta ujian di dalamnya
kata dengan rima yang bermain di atas sendunya para penulis
dengan Tuhan yang mengajari arti dari roda kehidupan 

dan aku masih tertuju pada langit itu,
tepat di atas, dengan kubah dan dinding di bawahnya

Tempat para Muslimin dan Muslimat berinteraksi dengan si Pencipta
terdapat sebuah sekat yang memisahkan di antaranya
sekat yang memberikan jarak antara jauh dan dekat
dan perbedaan-perbedaan yang menjadi alur penjelasnya

Pemisah antara yang haram dan halal sudah jelas dalilnya
lantas apa yang menjadi halangan?
setelah sakit kita baru belajar, setelah jatuh kita baru sadar
sesuatu yang dicuri ini memaksa otak untuk berdalih

Aku merindu dalam hening
mendoakannya dalam sepi sendiri, menikmati luka, berpura tidak suka
syukur aku atas anugerah-Nya
rasa yang tidak pernah salah, mungkin Waktu yang bermasalah.


dan aku... masih tertuju pada langit itu.
.
.
.
.
.
Bandung, 23 Januari 2016
"Teruntuk tiga puluh hari tiada kabar"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar